Rabu, 22 April 2015

TRADISIS TARIAN PERANG (KATAGA-WOLEKA) NNT-WEST SUMBA


KATAGA adalah memperhitungkan kekuatan lawan dan di mana letak-letak kelemahan lawan. Makanya gerakan-gerakan kaki dalam tarian ini sepertinya maju mundur pada awalnya.

Konon dahulu kala di Anakalang, terjadi peristiwa perang antar kampung ataupun perang antara marga yang satu dengan marga yang lainnya, dan perang tersebut disebut dengan perang tanding. Dalam perang tanding biasanya ada pihak yang menang ataupun kalah.
beberapa hari dengan digantung di ‘TUGU’ (adung*) pelataran/talora, dan pada suatu saat bila ada pihak ketiga yang melakukan perdamaian pada kedua pihak, maka tengkorak musuh dikembalikan sebagai tanda perdamaian. Setelah acara perang tanding selesai, biasanya para serdadu yang terlibat dalam perang tanding memperagakan cara mereka berperang.


kataga menceritakan bagaimana mereka memotong, menangkis dan menghindar. Dari sinilah kemudian ketika perang tanding sudah bukan menjadi kebiasaan lagi maka hal itu dialihkan menjadi gerakan-gerakan tari yang sekarang disebut sebagai tarian KATAGA atau tarian PERANG.

  Kataga yang berasal dari kata katagahu yaitu kegiatan memotong kepala korban peperangan untuk mengeluarkan isi otaknya.
Acara pemotongan ini dilakukan dengan penuh perhitungan dan sangat hati-hati agar tidak merusak tengkorak.

ini adalah salah satu vidio tarian sumba barat:

 Nama tungku untuk memasak kepala orang di adung bani itu adalah Kabellaku da binnu, kaitu da ma jauli, yang berarti tempat yang tidak pernah penuh dan bermakna selalu minta untuk diisi.


 Tarian  ini berasal  dari kabupaten Sumba Barat dan biasanya diperagakan baik oleh pria yang disebut Kataga Lelaki dan wanita yuang disebut Kataga Perempuan. Tarian ini penuh semangat dan terkesan sangat enerjik para penarinya.
Gerakan tarian ini sewaktu waktu diselingi teriakan keras dan nyaring ketika terjadi gerakan menyerang lawan. Selain tari Kataga, ada juga tari Woleka. Kedua tari ini sangat populer di daerah Sumba Barat.




BUDAYA SUMBA BARAT

Di Sumba , pemeluk agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya.Perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari.
Ingi Dete dan Ingi Bawa: yang dimaksudkan dengan ingi adalah kain berbentuk lembaran yang merupakan item paling pokok dari busana tradisional lelaki Sumba. Ingi terdiri dari dua bagian, Ingi Bawa (kain bawah) dan ingi deta (kain atas). Ingi bawa dikenakan pada bagian bawah tubuh dengan cara dililitkan di pinggang dimana sebagian ujung kain dibiarkan menjulur diantara lutut. Ingi Dete digunakan seperti selendang yang disampirkan menyimpang dari bahu kiri ke bahu kanan.
Kapouta: ikat kepala yang dililit sedemikian rupa membentuk kerucut (kabora) dengan ujung mencuat ke atas atau berbagai variasi lain. Beda wilayah beda pula cara mengikat kaupata, sehingga dalam batas-batas tertentu bisa dijadikan identitas kelompok sub-etnis. Kapouta dulunya terbuat dari kulit kayu, namun kini tergantikan oleh kain tenun dan kain-kain buatan pabrik.
kalere begge: ikat pinggang terbuat dari kulit kayu yang digunakan untuk mengikat ingi bawa agar kuat melekat di pinggang. Dewasa ini kalere begge yang asli sudah jarang ditemukan, orang lebih suka menggunakan ikat pinggang lebar buatan pabrik yang disebut salopo atau halopa.
Katopo begge: parang yang diselipkan pada ingi bawa, di pinggang bagian kiri.
Kaleku pamama: tas dari anyaman pandan atau kulit kayu yang disampirkan di bahu sebelah kiri. Kaleku pamama digunakan untuk menyimpan sirih pinang yang disuguhkan kepada tamu sebagai tanda selamat datang dan untuk keperluan pemujaan.
Sementara untuk kalangan rato dan penari, selain perlengkapan standar seperti disebutkan di atas, ada tambahan asesoris sebagai berikut:
Lado: hiasan kepala terbuat dari bulu kuda putih dengan rotan kecil sebagai bingkai dan bilah rotan sebagai pengikat. Lado biasanya ditancapkan pada kapauta, ujung bawah sejajar dengan dahi dan ujung satunya sejajar dengan kabora. Lado seperti itu hanya digunakan oleh Rato Rumata. Rato-rato lain menggunakan lado yang lebih sederhana, berupa seutas rotan yang ujungnya dihiasi bulu ayam hitam (lado wullu manu mette).
Nobu: tombak yang umumnya terbuat dari besi atau kayu pilihan. Tombak yang dikenakan oleh rato biasanya merupakan tongkat-tongkat keramat yang hanya boleh digunakan pada saat tertentu.
Toda: tameng atau perisai terbuat dari kulit kerbau.
Lagoro: giring-giring yang dikenakan pada betis, ada yang berhiaskan bulu ekor kuda (logoro ullu wa'i) dan juga yang disematkan pada kulit kambing.
Pali piding: tali rotan berhiaskan bulu ekor kuda. Dikenakan di pinggang dengan ujung berada dibelakang tubuh.

pada bagian wanita terdiri dari:
  1.         Sarung: yang dilingkari sekeliling dada, 
    Kaleku pamama:  tas tradisisonal yang tebuat dari anyaman pandan.
    mamoli: perhiasan telinga berbentuk ketupat dengan lubang ditengah, mamoli ini terbuat dari emas, kuningan atau perak.
    Maraga: perhiasan dada berupa pita besar yang terbuat dari emas, kuningan dan perak.
    1. Lele: gelang. ada yang dikenakan di tangan, umumnya terbuat dari gading (lele gadi), ada pula yang dikenakan di kaki, umumnya terbuat dari anyaman tali yang dihiasi giring-giring (lele wai).
     Lado mawinne: hiasan kepala dari bilah rotan bercabang tiga yang dihiasi bulu ekor kuda. Dikenakan dengan cara disematkan pada kapouta. Kapoutanya sendiri terbuat dari pelepah pinang namun kini lebih banyak yang menggunakan kain buatan pabrik dengan warna-warna mencolok yang dibiarkan menjuntai melewati pinggang. Lado Mawinne hanya digunakan oleh para penari wanita.
Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan nghee(sarung) untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan he'e tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi.

kapauta (ikat kepala) yang dililit sedemikian rupa membentuk kerucut berbagai variasi lain, ada juga wilayah beda pula cara mengikat kapauta
(ikat kepala). pada jaman nenek moyang kapauta masish terbuat dari kulit kayu, dan sekarang terbuat dari tenun dan kain buatan pabrik.
selain itu para lelaki juga mengenakan parang(katopo begge) dikenakan di pinggang bagian kiri mereka, tanpa ada parang pada pinggang mereka merasa malu, karena itu adat sumba.
Kaleku pamama: tas dari anyaman pandan atau kulit kayu yang disampirkan di bahu sebelah kiri. Kaleku pamama digunakan untuk menyimpan sirih pinang yang disuguhkan kepada tamu sebagai tanda selamat datang dan untuk keperluan pemujaan.